Mendapatkan kesempatan pergi ke luar negeri
merupakan obsesi setiap orang, terutama bagi mereka yang senang untuk belajar
dan menimba ilmu. Selain untuk meningkatkan kualitas ilmu, mendapat kesempatan
belajar di luar negeri merupakan sebuah kebanggaan dan prestasi yang luar
biasa. Itulah yang pernah saya rasakan beberapa bulan lalu ketika menjadi salah
satu peserta Sandwich Programme dan Double Degree, beasiswa dari
Kemendiknas, kerjasama antara Kajian Timur Tengah UGM dengan Universitas Suez
Canal, Ismailiyah. Tidak pernah terbayangkan sebelumnya, bahwa akhirnya saya
bisa menjejakkan kaki di negeri seribu menara ini..
Kedatangan saya di Bandara Internasional
Kairo tanggal 14 September 2011 disambut oleh staf Atase Pendidikan dan Kebudayaan KBRI Mesir, Bapak
Mukhlason, Lc., Bapak Cecep Taufiq, M.A., dan beberapa teman mahasiswa
Al-Azhar. Kesan pertama saya menjejakkan kaki di Kairo adalah, bahwa kota ini
sangat panas dan berdebu-ketika saya datang, suhu udara mencapai 34 derajat
celsius-. Tapi hal itu tidak mengurangi kekaguman saya akan arsitektur bangunan
kota yang semuanya berbentuk kotak, tidak mempunyai halaman dan terkesan kotor.
Meskipun melihat kenyataan yang sangat jauh
berbeda dari bayangan semula, tapi tidak menyurutkan sedikitpun semangat saya
untuk belajar di sini. Selama di Kairo, saya tinggal di kantor staf Atdikbud di
bawwabah tsalasah, beserta teman-teman yang membantu tugas
Atdikbud, antara lain, Sayyid Zuhdi dan Angga Prilakusuma -teman satu kelas dan
satu kamar ketika mondok di Gontor-, Jamzuri, Zainul Anshori dan
teman-teman Al-Azhar lain, seperti, Kadarisman Ahmad, Ahmad Ginanjar Sya’ban
(penerjemah Novel Ayat-Ayat Cinta ke dalam Bahasa Arab), Abdul Majid, Lakuning
Lintang-mereka semua adalah mahasiswa Azhar yang mengajar kursus Bahasa
Indonesia di Universitas Suez Canal-.
Penyesuaian tempat tinggal kembali harus
saya rasakan ketika pindah ke Ismailiyah, sebuah kota di Timur Laut Kairo pada
tanggal. Jarak antara Kairo ke Ismailiyah jika ditempuh dengan mobil atau bus
sekitar 2 jam. Kota –yang menurut saya sangat eksotis ini- terletak di tepi Barat
Terusan Suez. Kota yang berpenduduk sekitar 1 juta jiwa ini didirikan Khedive
Ismail sekitar tahun 1863 M, pada saat Terusan Suez dibangun. Sebagai bentuk
jasa kepada beliau, maka kota ini dinamakan Ismailiyah. Terusan Suez memiliki
peran yang sangat penting, karena menjadi jalur perdagangan antara Eropa dengan
negara-negara Timur Tengah, bahkan Asia.
Melihat kota Ismailiyah, saya sangat
terkesan, karena kota ini sangat berbeda dengan kota Kairo, baik tata kota,
kondisi masyarakat, terutama lalu lintas. Di kota ini, bangunan peninggalan
Inggris dan Prancis juga masih berdiri dengan kokoh dan megah, dan dijadikan
kantor pemerintahan atau kantor Terusan Suez. Ada satu hal yang membuat saya
semakin familiar, tidak asing dengan kota ini, yaitu bangunannya yang hampir
sama dengan bangunan-bangunan yang ada di Yogyakarta. Mungkin hal inilah yang
membuat saya merasa betah dan kerasan selama tinggal di Ismailiyah.
Saya dan teman-teman berjumlah 6 orang diboyong
ke Ismailiyah, karena tugas kami sebenarnya adalah di kota ini. Kami diantar
rombongan Atdikbud KBRI Mesir, antara lain: Prof. Dr. Sangidu, M.Hum, selaku
Atdikbud, dan beberapa staf beliau. Tempat yang kami tuju pertama kali adalah
asrama mahasiswa China-karena asrama ini didirikan oleh pemerintah China, diperuntukkan
bagi mahasiswa China yang belajar di Universitas Suez Canal-. Kami disambut
oleh perwakilan dari Fakultas Sastra dan Ilmu-ilmu Humaniora, Prof. Dr.
Abdelrahim Mohammed al-Kordy, selaku direktur Pusat Studi Bahasa Arab dan
Tarjamah. Beliau adalah Guru Besar di bidang Linguistik, yang juga menjadi
pembimbing dua orang teman saya, Muhammad Yunus Anis, dan Tri Yanti Nurul
Hidayati. Kami tinggal di asrama mahasiswa asing China bersama dengan mahasiswa
China yang belajar di Universitas ini.
Kondisi dan cuaca di Ismailiyah tidak jauh
berbeda dengan Mesir, bahkan cenderung lebih adem. Meskipun begitu,
hari-hari pertama harus saya lalui dengan keluarnya darah dari hidung secara
natural alias mimisan. Iya, dengan cuaca sekitar 35 derajat membuat
tubuh saya harus “jatuh di awal. Tapi
itu hanya berlangsung beberapa hari, selanjutnya saya sudah mampu
mengkondisikan diri. Sebagai pembimbing asrama kami adalah Dr. Abdul Basith,
yang juga menjadi pembimbing dua teman saya, Ahmad Jazuli dan Fita Nafisa.
Sedangkan Pak Wahyudi-mahasiswa program Doktor KTT UGM- dibimbing oleh Prof.
Dr. Sholah Showy, Ibu Atiqoh dibimbing Prof. Dr. Hasan Yusuf, sedangkan saya
sendiri, mendapat bimbingan langsung dari Prof. Dr. Ameer an-Najjar, Guru Besar
bidang Tasawuf dan Pemikiran Islam
Saya baru sadar, bahwa Universitas Canal
Suez merupakan universitas yang tergolong muda di Mesir, yang didirikan pada
tahun 1977 M. Universitas ini memiliki 4 (empat) cabang di wilayah Timur Laut
Mesir, yakni di Ismailiyah, Port Said, Suez, dan Sinai Utara. Yang memiliki
mahasiswa dan fakultas terbanyak berada di cabang Ismailiyah dengan jumlah
fakultas 13 (tiga belas), yaitu: Fakultas Teknik, Pertanian, Pendidikan,
Kedokteran, Science, Kedokteran Hewan, Kedokteran Gigi, Perdagangan, Komputer
dan Informatika, Pariwisata dan Perhotelan, Farmasi, Sastra, dan Keperawatan. Universitas
Suez Canal dipimpin Prof. Dr. Muhammad Sayyid Ahmad Shalih al-Zougby.
Hari-hari pertama belajar di kampus, saya
menemukan banyak sekali perbedaan mencolok, baik dari cara belajar, cara
mengajar dosen, dan bahkan yang membuat saya shock, di Fakultas Sastra
dan Ilmu-ilmu Humaniora tidak mengenal tugas membuat makalah (paper).
Penilaian dosen hanya diberikan pada waktu ujian akhir-hal ini juga berlaku
pada fakultas lain dan bahkan seluruh perguruan tinggi di Mesir-. Jarak tempuh
asrama ke kampus hanya 15 menit perjalanan menggunakan taksi. Taksi di
Ismailiyah sangat murah, hanya 3 pound (sekitar Rp. 4500,-) untuk jarak jauh
maupun dekat. Dengan transportasi yang sangat mudah, kami tiap hari selalu
berangkat ke kampus, entah itu untuk bimbingan atau sekedar sit in
mengikuti perkuliahan dengan teman-teman dari Mesir.
Bahasa tentu
menjadi kendala pertama bagi kami, yang harus tersiksa mendengar
percakapan ‘amiyah teman-teman kami dari Mesir. Selama ini kami hanya
belajar bahasa fusha’ yang ternyata tidak terlalu “laku” untuk digunakan
dalam percakapan sehari-hari. Bahkan ada masyarakat Mesir yang tidak paham
bahasa fusha’! Tapi sedikit demi sedikit saya dan teman-teman mulai
faham dan terbiasa menggunakan bahasa yang satu ini, meskipun agak sulit
dipelajari. Teman-teman Mesir di Fakultas Sastra dan Ilmu-ilmu Sosial sangat friendly,
bahkan ada dari mereka yang mengajak kami untuk berkunjung ke rumah mereka,
sehingga kita merasa punya keluarga baru di kota ini. Tidak jarang kami meminta
bantuan kepada mereka jika menemui kendala atau masalah dalam penelitian atau
belajar, khususnya memahami teks dalam buku-buku yang tentunya berbahasa Arab
semua.
Di Mesir, libur
mingguan jatuh pada hari Jum’at dan Sabtu. Pada waktu libur mingguan, terkadang
kami pergi ke Kairo untuk mencari tambahan referensi buku. Karena harga buku di
Mesir cenderung murah, tetapi kualitasnya sangat bagus. Beberapa tempat
wisata juga pernah kami kunjungi, semisal: Matruh-Siwa, Piramid di Giza, City
Star, pasar al-Halily di Husein, masjid Al-Azhar, museum Ismailiyah dsb.
Tetapi kami lebih banyak menghabiskan waktu untuk pergi ke Terusan Suez, karena
jarak dari
kampus Universitas Suez Canal hanya beberapa kilometer, dan hanya ditempuh
dalam waktu 15 – 20 menit. Terusan Suez, merupakan sungai besar, yang
memisahkan benua Asia dan Afrika, dibuat oleh Pemerintah Prancis pada abad
ke-19 yang menghubungkan Laut Mediterania di sebelah Utara dan Teluk Suez di
Selatan dan terus ke Laut Merah. Terusan ini fungsinya sangat strategis dan urgen
bagi perkembangan ekonomi Mesir dan negara-negara Eropa dan Asia Barat lainnya.
Kota Ismailiyah di mana kampus Suez Canal berada letaknya persis di tepi Barat
Terusan Suez, sehingga kota ini menjadi kota pelabuhan dan perdagangan.
Meskipun tidak menjadi obyek wisata, kotanya tetap ramai karena menjadi salah
satu pusat perdagangan di negara Mesir.
Setelah kurang lebih 3 bulan melakukan research,
akhirnya pada tanggal 22 November 2011, proposal tesis kami siap
diseminarkan. Perjuangan kami untuk mencari data-data, baik di lapangan maupun
di perpustakaan tidak sia-sia. Kami mendapat appreciate yang positif
dari para penguji dan pembimbing. Akhir yang sangat manis tentunya bagi kami.
Setelah ujian proposal, kami kembali lagi ke Kairo sebelum akhirnya pulang ke
Indonesia tanggal 3 Desember 2011.
Banyak pengalaman yang saya dapatkan selama
belajar di sini. Ternyata ada perbedaan pola belajar mahasiswa di Mesir dan
Indonesia, baik dari mahasiswa ataupun dari dosen. Di Universitas Suez Canal,
mahasiswa dilatih untuk tajam dan kritis dalam mempelajari isi materi kuliah,
tetapi sangat kurang dalam metodologi dan teori. Bahkan bisa dibilang,
mahasiswa dituntut untuk mampu menghafal seluruh materi kuliah, karena yang
diterapkan di sini adalah model hafalan, sangat berbeda dengan metode belajar
di Indonesia, yang menggunakan analisis. Tapi apapun perbedaannya, bagi saya,
ini merupakan sebuah pengalaman baru, belajar di tengah kondisi yang berbeda,
di mana saya dituntut untuk belajar mandiri, dosen hanya membimbing dan
mengarahkan, sedangkan saya harus mampu mengoptimalkan diri sendiri.
Bagaimanapun juga, 1 semester merupakan waktu yang sangat pendek bagi kami.
Kenangan yang sangat tidak mungkin kami lupakan selama belajar di negeri para
nabi ini. Yang jelas, saya semakin yakin dengan pepatah arab, “di mana ada
kemauan, pasti ada jalan.”
nara
Kota Gudeg, 23 November 2012