Kamis, 29 November 2012

Sekelumit Cerita dari Negeri Seribu Menara

Mendapatkan kesempatan pergi ke luar negeri merupakan obsesi setiap orang, terutama bagi mereka yang senang untuk belajar dan menimba ilmu. Selain untuk meningkatkan kualitas ilmu, mendapat kesempatan belajar di luar negeri merupakan sebuah kebanggaan dan prestasi yang luar biasa. Itulah yang pernah saya rasakan beberapa bulan lalu ketika menjadi salah satu peserta Sandwich Programme dan Double Degree, beasiswa dari Kemendiknas, kerjasama antara Kajian Timur Tengah UGM dengan Universitas Suez Canal, Ismailiyah. Tidak pernah terbayangkan sebelumnya, bahwa akhirnya saya bisa menjejakkan kaki di negeri seribu menara ini..
Kedatangan saya di Bandara Internasional Kairo tanggal 14 September 2011 disambut oleh staf Atase Pendidikan dan Kebudayaan KBRI Mesir, Bapak Mukhlason, Lc., Bapak Cecep Taufiq, M.A., dan beberapa teman mahasiswa Al-Azhar. Kesan pertama saya menjejakkan kaki di Kairo adalah, bahwa kota ini sangat panas dan berdebu-ketika saya datang, suhu udara mencapai 34 derajat celsius-. Tapi hal itu tidak mengurangi kekaguman saya akan arsitektur bangunan kota yang semuanya berbentuk kotak, tidak mempunyai halaman dan terkesan kotor.  
Meskipun melihat kenyataan yang sangat jauh berbeda dari bayangan semula, tapi tidak menyurutkan sedikitpun semangat saya untuk belajar di sini. Selama di Kairo, saya tinggal di kantor staf Atdikbud di bawwabah tsalasah, beserta teman-teman yang membantu tugas Atdikbud, antara lain, Sayyid Zuhdi dan Angga Prilakusuma -teman satu kelas dan satu kamar ketika mondok di Gontor-, Jamzuri, Zainul Anshori dan teman-teman Al-Azhar lain, seperti, Kadarisman Ahmad, Ahmad Ginanjar Sya’ban (penerjemah Novel Ayat-Ayat Cinta ke dalam Bahasa Arab), Abdul Majid, Lakuning Lintang-mereka semua adalah mahasiswa Azhar yang mengajar kursus Bahasa Indonesia di Universitas Suez Canal-.
Penyesuaian tempat tinggal kembali harus saya rasakan ketika pindah ke Ismailiyah, sebuah kota di Timur Laut Kairo pada tanggal. Jarak antara Kairo ke Ismailiyah jika ditempuh dengan mobil atau bus sekitar 2 jam. Kota –yang menurut saya sangat eksotis ini- terletak di tepi Barat Terusan Suez. Kota yang berpenduduk sekitar 1 juta jiwa ini didirikan Khedive Ismail sekitar tahun 1863 M, pada saat Terusan Suez dibangun. Sebagai bentuk jasa kepada beliau, maka kota ini dinamakan Ismailiyah. Terusan Suez memiliki peran yang sangat penting, karena menjadi jalur perdagangan antara Eropa dengan negara-negara Timur Tengah, bahkan Asia.
Melihat kota Ismailiyah, saya sangat terkesan, karena kota ini sangat berbeda dengan kota Kairo, baik tata kota, kondisi masyarakat, terutama lalu lintas. Di kota ini, bangunan peninggalan Inggris dan Prancis juga masih berdiri dengan kokoh dan megah, dan dijadikan kantor pemerintahan atau kantor Terusan Suez. Ada satu hal yang membuat saya semakin familiar, tidak asing dengan kota ini, yaitu bangunannya yang hampir sama dengan bangunan-bangunan yang ada di Yogyakarta. Mungkin hal inilah yang membuat saya merasa betah dan kerasan selama tinggal di Ismailiyah.
Saya dan teman-teman berjumlah 6 orang diboyong ke Ismailiyah, karena tugas kami sebenarnya adalah di kota ini. Kami diantar rombongan Atdikbud KBRI Mesir, antara lain: Prof. Dr. Sangidu, M.Hum, selaku Atdikbud, dan beberapa staf beliau. Tempat yang kami tuju pertama kali adalah asrama mahasiswa China-karena asrama ini didirikan oleh pemerintah China, diperuntukkan bagi mahasiswa China yang belajar di Universitas Suez Canal-. Kami disambut oleh perwakilan dari Fakultas Sastra dan Ilmu-ilmu Humaniora, Prof. Dr. Abdelrahim Mohammed al-Kordy, selaku direktur Pusat Studi Bahasa Arab dan Tarjamah. Beliau adalah Guru Besar di bidang Linguistik, yang juga menjadi pembimbing dua orang teman saya, Muhammad Yunus Anis, dan Tri Yanti Nurul Hidayati. Kami tinggal di asrama mahasiswa asing China bersama dengan mahasiswa China yang belajar di Universitas ini.
Kondisi dan cuaca di Ismailiyah tidak jauh berbeda dengan Mesir, bahkan cenderung lebih adem. Meskipun begitu, hari-hari pertama harus saya lalui dengan keluarnya darah dari hidung secara natural alias mimisan. Iya, dengan cuaca sekitar 35 derajat membuat tubuh saya harus “jatuh  di awal. Tapi itu hanya berlangsung beberapa hari, selanjutnya saya sudah mampu mengkondisikan diri. Sebagai pembimbing asrama kami adalah Dr. Abdul Basith, yang juga menjadi pembimbing dua teman saya, Ahmad Jazuli dan Fita Nafisa. Sedangkan Pak Wahyudi-mahasiswa program Doktor KTT UGM- dibimbing oleh Prof. Dr. Sholah Showy, Ibu Atiqoh dibimbing Prof. Dr. Hasan Yusuf, sedangkan saya sendiri, mendapat bimbingan langsung dari Prof. Dr. Ameer an-Najjar, Guru Besar bidang Tasawuf dan Pemikiran Islam
Saya baru sadar, bahwa Universitas Canal Suez merupakan universitas yang tergolong muda di Mesir, yang didirikan pada tahun 1977 M. Universitas ini memiliki 4 (empat) cabang di wilayah Timur Laut Mesir, yakni di Ismailiyah, Port Said, Suez, dan Sinai Utara. Yang memiliki mahasiswa dan fakultas terbanyak berada di cabang Ismailiyah dengan jumlah fakultas 13 (tiga belas), yaitu: Fakultas Teknik, Pertanian, Pendidikan, Kedokteran, Science, Kedokteran Hewan, Kedokteran Gigi, Perdagangan, Komputer dan Informatika, Pariwisata dan Perhotelan, Farmasi, Sastra, dan Keperawatan. Universitas Suez Canal dipimpin Prof. Dr. Muhammad Sayyid Ahmad Shalih al-Zougby.
Hari-hari pertama belajar di kampus, saya menemukan banyak sekali perbedaan mencolok, baik dari cara belajar, cara mengajar dosen, dan bahkan yang membuat saya shock, di Fakultas Sastra dan Ilmu-ilmu Humaniora tidak mengenal tugas membuat makalah (paper). Penilaian dosen hanya diberikan pada waktu ujian akhir-hal ini juga berlaku pada fakultas lain dan bahkan seluruh perguruan tinggi di Mesir-. Jarak tempuh asrama ke kampus hanya 15 menit perjalanan menggunakan taksi. Taksi di Ismailiyah sangat murah, hanya 3 pound (sekitar Rp. 4500,-) untuk jarak jauh maupun dekat. Dengan transportasi yang sangat mudah, kami tiap hari selalu berangkat ke kampus, entah itu untuk bimbingan atau sekedar sit in mengikuti perkuliahan dengan teman-teman dari Mesir.
Bahasa tentu menjadi kendala pertama bagi kami, yang harus tersiksa mendengar percakapan ‘amiyah teman-teman kami dari Mesir. Selama ini kami hanya belajar bahasa fusha’ yang ternyata tidak terlalu “laku” untuk digunakan dalam percakapan sehari-hari. Bahkan ada masyarakat Mesir yang tidak paham bahasa fusha’! Tapi sedikit demi sedikit saya dan teman-teman mulai faham dan terbiasa menggunakan bahasa yang satu ini, meskipun agak sulit dipelajari. Teman-teman Mesir di Fakultas Sastra dan Ilmu-ilmu Sosial sangat friendly, bahkan ada dari mereka yang mengajak kami untuk berkunjung ke rumah mereka, sehingga kita merasa punya keluarga baru di kota ini. Tidak jarang kami meminta bantuan kepada mereka jika menemui kendala atau masalah dalam penelitian atau belajar, khususnya memahami teks dalam buku-buku yang tentunya berbahasa Arab semua.
Di Mesir, libur mingguan jatuh pada hari Jum’at dan Sabtu. Pada waktu libur mingguan, terkadang kami pergi ke Kairo untuk mencari tambahan referensi buku. Karena harga buku di Mesir cenderung murah, tetapi kualitasnya sangat bagus. Beberapa tempat wisata juga pernah kami kunjungi, semisal: Matruh-Siwa, Piramid di Giza, City Star, pasar al-Halily di Husein, masjid Al-Azhar, museum Ismailiyah dsb. Tetapi kami lebih banyak menghabiskan waktu untuk pergi ke Terusan Suez, karena jarak dari kampus Universitas Suez Canal hanya beberapa kilometer, dan hanya ditempuh dalam waktu 15 – 20 menit. Terusan Suez, merupakan sungai besar, yang memisahkan benua Asia dan Afrika, dibuat oleh Pemerintah Prancis pada abad ke-19 yang menghubungkan Laut Mediterania di sebelah Utara dan Teluk Suez di Selatan dan terus ke Laut Merah. Terusan ini fungsinya sangat strategis dan urgen bagi perkembangan ekonomi Mesir dan negara-negara Eropa dan Asia Barat lainnya. Kota Ismailiyah di mana kampus Suez Canal berada letaknya persis di tepi Barat Terusan Suez, sehingga kota ini menjadi kota pelabuhan dan perdagangan. Meskipun tidak menjadi obyek wisata, kotanya tetap ramai karena menjadi salah satu pusat perdagangan di negara Mesir.
Setelah kurang lebih 3 bulan melakukan research, akhirnya pada tanggal 22 November 2011, proposal tesis kami siap diseminarkan. Perjuangan kami untuk mencari data-data, baik di lapangan maupun di perpustakaan tidak sia-sia. Kami mendapat appreciate yang positif dari para penguji dan pembimbing. Akhir yang sangat manis tentunya bagi kami. Setelah ujian proposal, kami kembali lagi ke Kairo sebelum akhirnya pulang ke Indonesia tanggal 3 Desember 2011.
Banyak pengalaman yang saya dapatkan selama belajar di sini. Ternyata ada perbedaan pola belajar mahasiswa di Mesir dan Indonesia, baik dari mahasiswa ataupun dari dosen. Di Universitas Suez Canal, mahasiswa dilatih untuk tajam dan kritis dalam mempelajari isi materi kuliah, tetapi sangat kurang dalam metodologi dan teori. Bahkan bisa dibilang, mahasiswa dituntut untuk mampu menghafal seluruh materi kuliah, karena yang diterapkan di sini adalah model hafalan, sangat berbeda dengan metode belajar di Indonesia, yang menggunakan analisis. Tapi apapun perbedaannya, bagi saya, ini merupakan sebuah pengalaman baru, belajar di tengah kondisi yang berbeda, di mana saya dituntut untuk belajar mandiri, dosen hanya membimbing dan mengarahkan, sedangkan saya harus mampu mengoptimalkan diri sendiri. Bagaimanapun juga, 1 semester merupakan waktu yang sangat pendek bagi kami. Kenangan yang sangat tidak mungkin kami lupakan selama belajar di negeri para nabi ini. Yang jelas, saya semakin yakin dengan pepatah arab, “di mana ada kemauan, pasti ada jalan.”

nara
Kota Gudeg, 23 November 2012

Minggu, 11 November 2012

Yogyakarta dan Sepenggal Mimpi Hidupku

Kota dengan sebutan kota pendidikan bukan hanya dimiliki oleh kota Yogyakarta. Beberapa kota yang lain juga mempunyai predikat sebagai kota pendidikan. Akan tetapi sampai saat ini Yogyakarta masih tetap menjadi tujuan utama para pencari ilmu dari seluruh pelosok negeri dan memiliki predikat itu. Hal ini tidak terlepas dari faktor-faktor yang mendukung Yogyakarta sebagai kota pendidikan yang belum tentu ada di tempat lainnya.
Ada beberapa faktor yang mendukung hal tersebut. Pertama, dukungan masyarakat, sebagai kota pendidikan sudah sekian lama Yogyakarta menjadi tempat tujuan belajar para pandatang dari berbagai daerah di seluruh Indonesia. Hal ini membuat masyarakat sudah sangat terbiasa mengalami perbedaan budaya. Dengan demikian benturan budaya relatif bisa disikapi secara lebih baik. Yogyakarta sudah menjadi semacam Indonesia mini. Kedua, biaya terjangkau, biaya pendidikan yang relatif terjangkau, termasuk biaya pemenuhan kebutuhan hidup sehari-hari juga menjadi faktor pendukung lainnya. Ketiga, kebutuhan sehari-hari, misalnya makanan, termasuk yang paling mudah diperoleh di Yogyakarta. Siang ataupun malam orang yang tinggal di Yogyakarta tidak akan pernah mendapat kesulitan. Harga yang relatif murah dan terjangkau juga tetap bisa diperoleh di banyak tempat. Keempat, tersedianya sarana dan prasarana pendidikan, berbagai macam kebutuhan penunjang pendidikan tentu saja menjadi mutlak untuk suksesnya siswa yang belajar di Yogyakarta. Tempat-tempat belajar umum senantiasa tersedia dan bisa diakses siapa saja. Perpustakaan umum, perpustakaan kampus, serta yang dikelola lembaga swasta nirlaba juga bisa dijadikan pilihan menambah wawasan pengetahuan. Para pelajar juga dapat memanfaatkan sarana belajar Jogja Studi Center yang dibangun oleh pihak pemerintah. Sarana ini sangat nyaman untuk kegiatan belajar dan dilengkapi dengan berbagai fasilitas seperti perpustakaan, akses internet, ruang diskusi dan masih banyak lagi yang kesemuanya dapat dinikmati secara gratis. 
Selain perpusatakaan, di Yogyakarta juga tersedia banyak tempat untuk mengakses internet. Ratusan warung internet (warnet) dengan tarif yang bersaing bisa dinikmati. Keberadaan toko buku juga menambah poin sebagai kota pelajar, mulai yang berharga standar sampai yang berharga murah. Fasilitas lain adalah museum. Sedikitnya ada tiga belas museum di Yogyakarta. Semua bisa menunjang proses belajar siswa di Yogyakarta. Dilihat dari kuantitas institusi pendidikan, Yogyakarta memiliki institusi perguruan tinggi dalam jumlah yang banyak.Tidak kurang dari 100 perguruan tinggi, baik Universitas, Institut, Akademi, dan Sekolah berdiri dan memenuhi seluruh sudut kota. Aku merasa sangat beruntung bisa menjadi bagian 'kecil' dari kota ini, setelah 7 tahun lamanya, kuhabiskan hidupku, untuk menuntut ilmu dan mencari eksistensi diri. Berbagai macam mimpi dan harapan selalu kutulis tiap malam, ketika menyantap nasi kucing di angkringan, yang menjadi tempat favoritku. Keduanya menjadi semangat bagiku untuk lebih mengenal dan menggali potensi diri, dengan 'bantuan' Yogyakarta.

nara